Pada tanggal 14 April 2003, the International Human Genome Project sequencing Consortium secara resmi mengumumkan rampungnya project penelitian raksasa sepanjang sejarah manusia, Human Genome Project (HGP). Rampungnya project ini ditandai dengan selesainya sekeunsing seluruh gen dalam tubuh manusia. Project yang dimulai tahun 1990 berhasil mengidentifikasi tidak kurang dari 20.000 – 25.000 gene dalam tubuh manusia. Meski jauh lebih sedikit dari pada eskpektasi sebelumnya (yakni sekitar 100 ribu gene dalam 3 milyar pasang basa yang ada dalam tubuh manusia), setidaknya project awalnya dipimpin oleh James D watson (sang penemu struktur helilks DNA) menjadi peletak dasar bagi perkembangan riset di era sesudahnya, terutama dalam bidang kesehatan sebagai aspek vital kelangsungan hidup manusia. Statement dalam tujuang project ini sangat jelas, yakni “to the continuing progress of medicine and other health sciences as knowledge of human anatomy has been for the present state of medicine”.
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, setelah project ini rampung, apakah tujuan itu sudah tercapai ? Nyatanya belum bahkan masih sangat jauh ! Human Genome project hanya mengantarkan kita pada sebuah pemahaman “genomic” manusia, belum sampai menjawab tujuan tersebut. Era sesungguhnya untuk menjawab tuntutan tersebut justru dimulai dari era sesudahnya. Mengutip perkataan Francis Colin, kepala project HGP, “only then would the real race begin !”. Era pasca project ini menjadi era penting dalam “adu balap” aktivitas riset di seluruh dunia dalam mencapai goal akhir tadi. Inilah era : Post Genome Project !!
Apa dan bagaimana era ini sesungguhnya ?
Dalam era genomic, kita berkutat pada pemecahan “kode-kode biologis” dalam tubuh manusia. Kode-kode tersebut kemudian disebut dengan gen. Sebagai hasil, era genomic berhasil mengidentifikasi puluhan ribu gen pengkode “behaviour” proses seluler tubuh kita yang kemudian berimplikasi pada “fenotipik” manusia secara umum. Dengan kata lain, dalam era ini, kita berhasil menemukan jawaban : kenapa orang terkena penyakit A, kenapa si anu kebal terhadap penyakit B, dan seterusnya dan seterusnya.
Dalam era post genomic, kita akan lebih fokus pada “jembatan” penghubung antara “kode penyandi” dengan “efek yang muncul”. Bagaimana puluhan ribu gen itu mengendalikan “behaviour” sel atau tubuh kita secara umum ? Inilah yang belum terjawab oleh data genomic (dan lagi pula memang tidak diarahkan untuk menjawab itu secara langsung).
Era post genomic menggunakan pendekatan produk gen dalam fokus kajiannya. Karena diyakinin, gen mengendalikan seluruh proses seluler dalam tubuh ini melalui produknya tersebut. Secara skematis, mungkin saya bisa paparkan disini. Kode gen akan diterjemahkan sehingga menghasilkan suatu produk utama. Kemudian produk tersebut akan terlibat dalam proses sintesis, katalisis, atau bahkan dekomposisi berbagai produk-produk seluler lainnya atau juga sebagai regulator. Dan produk ini disebut dengan “protein”. Jadi singkatnya, post genome era, adalah era-nya protein !!
Kasus dalam proses penemuan obat-obatan (drug) dalam bidang farmasi saat ini bisa kita ambil sebagai fakta nyata pergeseran era genomic menuju era protein tersebut. Proses penemuan obat (drug discovery) secara umum didasarkan pada data genomic yang dihasilkan dari proses sekuensing gene manusia sebelumnya. Dari identifikasi, ditemukan berbagai gene-related diseases atau penyakit yang dikendalikan oleh gen-gen tertentu. Era genomic hanya berhasil pada tahap identifikasi gen saja. Untuk melangkah lebih jauh hingga pada langkah preventing atau bahkan pengobatan, era ini belum bisa berbicara banyak. Misal, ketika temperatur tubuh kita naik yang menyebabkan kepala pusing, biasanya disebabkan karena tingginya kadar prostaglandin dalam tubuh. Zat ini disentisis dari Asam Arakhidonat yang dikatalisis oleh enzim Siklooksigenase. Temuan penting terkait penyakit ini pada era genomic adalah dikenalinya gen pengendali enzim siklooksigenase tersebut. Habis itu enzim ini mau diapakan dan dibagaimanakan ? (sekali lagi) data genomic hanya bisa bungkam.
Maka langkah baru yang harus ditempuh adalah : Genome Based Drug Discovery, untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Pada era genomic, mungkin orang akan sibuk mengidentifikasi gen-gen yang berpengaruh pada penyakit tersebut. Tapi pada post-genomic, orang akan lebih fokus pada produk-produk gen tersebut untuk kemudian di-hambat (jika efeknya menimbulkan penyakit) atau justru di-akselerasi (jika efeknya bisa mencegah atau meringankan). Pada kasus siklooksigenase, protein ini jelas menjadi produk dari gen yang terlibat dalam munculnya suatu penyakit tertentu. Aktivitas katalitik protein ini akan memicu perkembangan penyakit pada arah yang tidak kita inginkan. Jika fokus pada aspek genomic, satu-satunya cara mungkin dengan jalan men-disfungsikan gen penyandi protein tersebut, bisa dengan jalan knock out, mutasi, delesi, dan sejenisnya. Proses tersebut sangat simpel jika dilakukan pada gen atau genome bakteri yang sederhana, tapi bayangkan jika kita me-knock out suatu sekuens gen dalam tubuh kita sendiri ? Pendekatan yang lebih rasional adalah dengan men-treatment protein sebagai produk gen itu sendiri. Pada post genomic, kita akan lebih fokus pad aspek karakterisasi sikloosigenase untuk menjawab pertanyaan : kenapa dia bisa memicu suatu penyakit ?
Dengan proses karakterisasi tersebut beberapa point yang bisa kita peroleh diantaranya : mekanisme reaksi, sisi aktive (active site) dari si protein, pola interaksi dengan substrate, dan lain-lain. Dari dasar informasi tersebut maka pekerjaan akan lebih mudah untuk menemukan cara : “how to inhibit ?” . Dengan mengetahui informasi tersebut bisa didesain sebuah komponen tertentu yang bisa menghambat kinerja sang protein atau enzim. Dalam bahasa awam, komponen itulah yang dikenal dengan sebutan : obat-obatan. Jadi pada dasarnya, obat tidak lain hanya sebuah molekul yang disintesis sedemikian rupa untuk menghambat sang protein pemicu sebuah penyakit tertentu. Mekanismenya bisa macem-macem, tapi umunya dengan cara “menyamar” (mimic) sang substrate sehingga protein “salah lihat”, dalam kasus siklooksigenase dia menjadi tidak berikatan dengan arakidonat (tapi berikatan dengan molekul obat) sehingga reaksi tidak berlangsung.
Cara cerdas lagi sekarang dilakukan dengan pendekatan “bio-infomartic” dimana kita tidak perlu cape-cape membut serangkaian reaksi kimia untuk mencoba-coba “kecocokan” molekul untuk menghambat suatu enzim tertentu. Cukup bermodal dengan informasi struktur sang enzim atau protein (yang banyak berserakan di Protein Data Base [PDB]), maka dengan teknik “docking” dan sejenisnya, bisa dengan lebih cepat memprediksi “kecocokan” suatu obat untuk bisa menghambat enzim pembangkit suatu penyakit tertentu. Secara garis besar, dengan teknik ini kita menguji setumpuk molekul yang potensial sebagai ‘drug’. Lalu dengan bantuan komputer, kita masukan satu-persatu masing-masing molekul tersebut ke dalam “binding site” (sisi aktif pengikatan dari sebuah enzim) sehingga bisa diprediksi kecocokan masing-masing molekul. Cara ini sudah terbukti paling cepat dan paling murah dalam proses panjang “drug discovery”
Kembali ke topik utama,
Dengan mengacu pada tujuan utama “Human Genome Project”, maka sebenarnya pendekatan protein pada era “Post-Genome Project” setidaknya selangkah lebih maju dalam upaya pencapaian tujuan tersebut, yakni : to the continuing progress of medicine and other health sciences as knowledge of human anatomy has been for the present state of medicine. Dari sini, kita layak berterima kasih pada Genomic era yang mengentaskan kita dari kebutaan kode-kode biologis dalam kehidupan umat manusia. Post Genome project kini membentang di depan kita, saatnya kita turut berlari, bar-adu balap, dan memacu kembali kreativitas kita agar pengorbanan pendahulu-pendahulu kita di era genomic tidak terbuang sia-sia. Demi satu tujuan bersama, one world one health !
Ini saat Era-nya Protein !!
Leave a comment