Pemilu 2009 ini makin menarik, tentunya dengan melihat tingkah dan polah para elit politik kita yang “sibuk” muter kiri kanan. Siapa ? Ya semua, semua elit politik, mulai dari kelompok partai sok nasionalis bahkan sampai partai yang sok putih dan agamais. Okelah saya sepakat kalau kata “memuakan” itu terlalu sarkastik untuk melihat tingkah pongah mereka, lebih enak saya sebut saja tingkah mereka itu dengan kata “menggelikan” plus “menjijikan”. Menggelikan karena sikapnya bak bunglon, kemarin bilang anu hari ini bilang itu, besok bilang lain lagi. Menjijikan karena semuanya bersikap pongah, seolah bertingkah demi negara, demi bangsa, demi rakyat, demi umat, tapi faktanya mereka hanya sekedar rebutan jatah, dari mulai presiden, mentri, hingga jatah kursi menteri.
Yang paling menarik saat ini bagi saya adalah ‘riak-riak’ yang terjadi di tengah koalisi Cikeas, yang dimotori oleh PD, PKS, PKB, PAN, dan PPP. Koalisi ini cukup warna-warni, ada partai nasionalis, ada Islam moderat, ada Islam tradisional, sampe Islam gak jelas (yang mana hayo). Juga warnanya lengkap, ada yang “sok bijak dan hati-hati” sampai ada yang cepat kebakaran jenggot dan ngambekan, terbukti dengan sering mengancam mau menarik mundur dari koalisi (tebak siapa ? hehehe).
Tapi yang paling menarik dari ‘melodrama’ koalisi Cikeas ini adalah hari-hari belakangan ini, saat SBY sedang sibuk mencari cawapres, saat partai-partai lain sudah menyodorkan nama-nama gacoannya untuk jadi penamping SBY, saat semua sedang menunggu dengan harap-harap cemas, munculah kabar ‘angin’ : Budiono, sang Gubernur BI, bakal jadi cawapres SBY.
Dan suara pun makin gaduh. Anis Matta dari PKS langsung mencak-mencak dan (lagi-lagi) ngambek ‘ngancam mundur dari koalisi. Saking gelap matanya, bahkan presiden partai ini menyatakan lebih melirik pasangan JK-Wiranto dari Golkar ketimbang SBY-Budiono. Padahal sebelumnya partai ini mencak-mencak menolak Golkar masuk ke koalisi dengan alas an partai tidak reformis. Malah sekarang di lirik-lirik dan digadang-gadang. Ah, politik memang kejam, Jenderal !.
Itu baru PKS. Liat Amien Rais juga dari PAN, yang sebelumnya ‘berantem’ dengan Sutrisno Bachir (SB) karena SB lebih cenderung ‘berselingkuh’ dengan Gerindra. Begitu mendengar SBY memilih Budiono, Amien langsung ‘ngamuk dan tersinggung, lalu langsung juga mengeluarkan ancaman membuat ‘poros alternatif’. Rupanya mantan ketua MPR kita ini memang pakar dalam buat membuat poros tengah yang sudah-sudah.
Bagiamana dengan PKB. Ah, partai ini cukup tahu diri. Kemana-mana mentok, jadi mending cari aman. Apalagi beberapa petingginya kehilangan kursi di DPR akibat perolehan suaranya jeblok. Jadilah partai ini mendingan kalem, tenang. Apapaun pilihan SBY monggo saja, yang penting jatah menteri tetap ada. Lumayan, gak jadi anggota DPR tapi masih bisa jadi menteri.
Lalu PPP ? Sehabis pertarungan sengit antara Suryadharma Ali (SA) dan Bachtiar Chamsyah (BC) partai ini memang masih hemafrodit. Belum sepenuh hati sebenarnya bergabung dengan gang-nya SBY. Jadilah, begitu isu Budiono mencuat, mereka langsung menjadikannya momen yang pas untuk menebar ‘paku’ untuk menggembosi “ban koalisi”. Kabur adalah hal yang mungkin dilakukan oleh PPP jika Budiono tetap digandeng tanpa rasionalisasi.
Inilah peliknya SBY. Dengan tingkat elektabilitas dan popularitas tinggi sebenarnya sang Jendral ini bisa dengan mudah menang disbanding dengan kandidat-kandidat lainnya. Berpasangan dengan ‘sendal jepit’-pun dia masih bisa menang ketimbang Megawati yang sudah jadi kartu mati sekarang. Intinya, “derajat kebebasan” dia untuk memilih sangatlah tinggi, mulai dari Hidayat Nurwahid, Hatta Rajassa, Cak Imin, bahkan mungkin Tukul. Mulai dari politisi, teknokrat, hingga sandal jepit sekalipun. Dengan siapapun, SBY masih punya peluang besar untuk menang.
Tapi bingungnya, tiap partai menyodorkan (baca : meminta) agar SBY memilih kader masing-masing partai tersebut untuk dijadikan pasangannya dalam pilpres mendatang. PKS ingin kadernya (mulai dari Hidayat sampai Tifatul), PAN ingin Hatta Rajassa, PKB ingin Cak Imin yang sudah minum air doa dukungan dari kiai-kai pesantren, dan tentu PPP ingin dengan SA. SBY menjadi gamang, jika memilih Hidayat, bisa-bisa PAN dan teman-temannya ngamuk. Begitupun jika Hatta Sadjasa di jadikan cawapres. Caci maki dan gertakan-gertakan bisa muncul dari kiri kananya.
Atas dasar kegamangan ini, maka SBY memilih ‘jalan tengah’ menuru dia. Jalan tengah versi dia adalah : memunculkan tokok professional, non partisan, dan bukan kader partai manapun. Jadilah Budiono di gadang-gadang. Dengan harapan tentunya, Budiono sebagai orang netral bisa menjadi perekat semua ‘member’ koalisi, agar tidak ada yang kecewa karena kandidatnya tidak kepilih, atau ada yang angkuh karena dipilih. Rupanya SBY membaca peta itu lalu kemudian ditiupkan isu pilihan Budiono.
Tapi responya sungguh tidak di duga seperti yang kit baca di berbagai media masa sekarang. PKS ngambek, PAN tersinggung, PKB bingung, PPP cengengesan mau kabur. Melihat tingkah polah ini, petinggi PD hiruk pikuk memberikan klarifikasi tentang kondisi sebenarnya meski tidak sepenuhnya meredam suasana.
Dan SBY pun menjadi makin bingung memilih pendampingnya. Jika Budiono yang netral masih di tolak, siapa lagi yang bisa membuat semua partai di koalisi tersenyum senang ?? Haruskah Luna Maya pindah profesi dan digaet menjadi cawapres SBY untuk meredamkan suasana dengan ‘pesona’-nya. Barangkali, karena cantiknya para politisi kita langsung ‘mingkem’ dan ‘bungkam;’ lalu manggut-manggut setuju Luna Maya jadi cawapres SBY. Koalisi pun utuh, karena siapapun ingin dekat dengan Luna Maya. Masa sih Hatta Radjasa mau kabur kalo di istana ada Luna Maya ?? ehem ehem..
Tapi,..haruskah demikian ?? haruskah SBY minta ijin Ariel Peterpan untuk bisa bersanding dengan Luna Maya agar partai-partai lainnya diam ?
Ah, politik memang lucu, Jendral !
Leave a comment